True Love (Cinta Yang Tak Pernah Padam)

Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. 

Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. 

Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. 

Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. 

Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk. Lalu aku baca tahun "1924". 

Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. 

Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. 

Tertulis di sana, "Sayangku Michael", yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. 

Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya. 

Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. 

Surat itu ditandatangani oleh Hannah. 

Surat itu begitu indah. 

Tetapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. 

Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu. 

"Operator," kataku pada bagian peneragan, "Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?" 

Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. 

Kemudian ia berkata, "Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada anda." Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. 

Aku menunggu beberapa menit. 

Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, "Ada orang yang ingin berbicara dengan anda." 

Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. 

Ia menarik nafas, "Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!" 

"Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?" tanyaku. 

"Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada." 

Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. 

Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. 

Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal. 

Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. 

Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo. 

"Semua ini tampaknya konyol," kataku pada diriku sendiri. 

Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? 

Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. 

Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, "Ya, Hannah memang tinggal bersama kami." 

Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. 

"Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut, "bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah." 

Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. 

Gedung panti jompo itu sangat besar. 

Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. 

Lalu, kami naik ke lantai tiga. 

Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. 

Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. 

Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. 

Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. 

Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael." 

Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. 

Katanya dengan lembut, "Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu." "Ya," lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. "Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,......." 

Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, "......katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda," katanya sambil tersenyum. 

Kini air matanya mengalir, "aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael." 

Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. 

Aku menuruni tangga ke lantai bawah. 

Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, "Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?" 

Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, "Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. 

Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. 

Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini." 

Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. 

Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu. Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini." 

"Siapakah Pak Goldstein itu?" tanyaku. 

Tanganku mulai gemetar. 

"Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar." 

Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. 

Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. 

Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. 

Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. 

Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, "Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan." 

Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. 

Di sana duduklah seorang pria membaca buku. 

Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. 

Pak Goldstein memandang dengan terkejut. 

Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, "Oh ya, dompetku hilang!" 

Perawat itu berkata, "Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?" 

Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. 

Ia tersenyum gembira. Katanya, "Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan memberimu hadiah." 

"Ah tak usah," kataku. "Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini." 

Senyumnya langsung menghilang. "Kamu membaca surat ini?" 

"Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang." 

Wajahnya tiba-tiba pucat. 

"Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku," ia memohon. 

"Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda mengenalnya," kataku lembut. 

Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, "Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok.

" Ia menggenggam tanganku, "Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu mencintainya." 

"Michael," kataku, "Ayo ikuti aku." 

Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. 

Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. 

Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. 

Perawat mendekatinya perlahan. "Hannah," kata perawat itu lembut. 

Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. "Apakah anda tahu pria ini?" 

Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. 

Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, "Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih ingat padaku?" 

Hannah gemetar, "Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!" 

Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. 

Mereka lalu berpelukan. 

Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. 

"Lihatlah," kataku. "Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah." Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. "Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkawinan di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!" 

Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. 

Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. 

Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. 

Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. 

Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka. 

Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka. 

Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. 

Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun.


Batu Rubi yang Retak  ( Motivasi Hidup )


Alkisah, di sebuah kerajaan, raja memiliki sebuah batu rubi yang sangat indah. Raja sangat menyayangi, mengaguminya, dan berpuas hati karena merasa memiliki sesuatu yang indah dan berharga. Saat permaisuri akan melangsungkan ulang tahunnya, raja ingin memberikan hadiah batu rubi itu kepada istri tercintanya. Tetapi saat batu itu dikeluarkan dari tempat penyimpanan, terjadi kecelakaan sehingga batu itu terjatuh dan tergores retak cukup dalam.

Raja sangat kecewa dan bersedih. Dipanggillah para ahli batu-batu berharga untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Beberapa ahli permata telah datang ke kerajaan, tetapi mereka menyatakan tidak sanggup memperbaiki batu berharga tersebut.

Mohon ampun, Baginda. Goresan retak di batu ini tidak mungkin bisa diperbaiki. Kami tidak sanggup mengembalikannya seperti keadaan semula.

Kemudian sang baginda memutuskan mengadakan sayembara, mengundang seluruh ahli permata di negeri itu yang mungkin waktu itu terlewatkan.

Tidak lama kemudian datanglah ke istana seorang setengah tua berbadan bongkok dan berbaju lusuh, mengaku sebagai ahli permata. Melihat penampilannya yang tidak meyakinkan, para prajurit menertawakan dia dan berusaha mengusirnya. Mendengar keributan, sang raja memerintahkan untuk menghadap.

Ampun Baginda. Mendengar kesedihan Baginda karena kerusakan batu rubi kesayangan Baginda, perkenankanlah hamba untuk melihat dan mencoba memperbaikinya.

Baiklah, niat baikmu aku kabulkan, kata baginda sambil memberikan batu tersebut.

Setelah melihat dengan seksama, sambil menghela napas, si tamu berkata, Saya tidak bisa mengembalikan batu ini seperti keadaan
semula, tetapi bila diperkenankan, saya akan membuat batu rubi retak ini menjadi lebih indah.

Walaupun sang raja meragukan, tetapi karena putus asa tidak ada yang bisa dilakukan lagi dengan batu rubi itu, raja akhirnya setuju. Maka, ahli permata itupun mulai memotong dan menggosok.

Beberapa hari kemudian, dia menghadap raja. Dan ternyata batu permata rubi yang retak telah dia pahat menjadi bunga mawar yang sangat indah. Baginda sangat gembira, Terima kasih rakyatku. Bunga mawar adalah bunga kesukaan permaisuri, sungguh cocok sebagai hadiah.

Si ahli permata pun pulang dengan gembira. Bukan karena besarnya hadiah yang dia terima, tetapi lebih dari itu. Karena dia telah
membuat raja yang dicintainya berbahagia.

Netter yang luar biasa. Di tangan seorang yang ahli, benda cacat bisa diubah menjadi lebih indah dengan cara menambah nilai lebih yang diciptakannya. Apalagi mengerjakannya dengan penuh ketulusan dan perasaan cinta untuk membahagiakan orang lain.

TIDAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA DI DUNIA INI

Saya kira demikian pula bagi manusia, tidak ada yang sempurna, selalu ada kelemahan besar ataupun kecil. Tetapi jika kita memiliki
kesadaran dan tekad untuk mengubahnya, maka kita bisa mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada sekaligus mengembangkan kelebihan-kelebihan yang kita miliki sehingga keahlian dan karakter positif akan terbangun. Dengan terciptanya perubahan-perubahan positif tentu itu merupakan kekuatan pendorong yang akan membawa kita pada kehidupan yang lebih sukses dan bernilai!


post by : putri adriana (kikil.org)

Bookmark and Share
12/11/10

Cerpen Remaja

Cerita Pendek / Cerpen Remaja ( Tentang Adik )

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
Siapa yang mencuri uang itu? Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul! Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, Ayah, aku yang melakukannya!
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baikhasil yang begitu baik Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini. Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?
Dia menjawab,tersenyum, Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. ..
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu,ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita! Tetapi katanya, sambil tersenyum, Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. Apakah itu sakit? Aku menanyakannya.
Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. Pikirkan kakak iparia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!
Mengapa membicarakan masa lalu? Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi? Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, Kakakku.
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku. Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


Bookmark and Share
 
Cyberlove. Template Design By: SkinCorner